ME
Hai, aku
Asti.
Gadis remaja yang katanya takut menghadapi dunia, padahal
aku takut menghadapi diriku sendiri. Padahal dunia sendiri tak butuh penilaian
apa-apa dari diriku. Ia hanya mematulkan apa yang ingin aku lihat, dan
tindakkanku adalah cermin bagaimana aku melihat dunia. Sementara duniaku tak
lebih luas dari pikiranku tentang diriku sendiri.
Aku ingin sedikit bercerita tentang duniaku yang seperti
persegi panjang. Kali ini aku akan membuka kembali dokumen dalam laci gelap
disudut rongga kepalaku dan mencoba menyeret cerita ke luar dari kepalaku lalu
memakunya di kertas kosong.
Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara dan
mempunyai orang tua yang luar biasa. Sebelum
lebih dalam lagi, ada seuntai kata untuk mereka. Daddy, you’re maybe not the
best man in the world, but you should to know that you are always be the best
man in my life. And, Mom, thanks for everything, doamu yang tak hentilah
yang ada dititik ini, dan maaf aku sering membuat kalian kecewa.
****
Aku sendiri adalah seorang introvert. Aku
tidak tahu ini sebuah penyakit atau bukan, tapi orang-orang melihatnya seperti
faktor psikologis yang dipengaruhi beberapa faktor luar. Orang-orang bilang aku
pendiam, pemalu, anti-sosial dan segala tindak tandukku sering disalah pahami.
Tak jarang aku juga menerima kritikan dari sekitar untuk lebih aktif dan bicara
lebih banyak atau mencoba berbaur.
Menurutku, ini hanya kondisi biologis yang
disebabkan over sensitifitas terhadap dopamin. Saat aku terlalu banyak
menerima rangsangan dari luar, seperti misalnya bersosialisasi, tenagaku
(fisik dan mental) akan terkuras. Orang-orang pasti kasihan melihatku, ini
memang berat dan menyedihkan. Sebuah kepribadian yang cenderung meyimpan
perasaan sendiri dan lebih sering melakukakn self-talking. Perasaan
tanpa ingin merasa dihakimi. Aku terlihat pendiam atau menarik diri ketika
berada di tengah-tengah sekumpulan orang yang tidak ku kenal baik. Tapi, aku
lebih mudah bersosialisasi jika bersama dengan orang yang sudah ku kenal baik.
Trauma di masa lalu membuatku takut, rasa malu
dan gelisah pun menahanku. Bullying, sexual harassment, dan trauma
pertemanan di masa lalu pun mengintaiku. Aku seperti orang luar yang tak tahu
kemana harus pulang, teman terasa seperti sebuah formalitas. Jadi aku hanya
berjalan sendirian, bersama kesepian sang teman lama.
****
Teman berimajinasiku tak lagi bersamaku, satu
persatu mereka pergi meninggalkanku untuk pindah bersama orangtuanya. Tak ada
lagi yang bisa memberikan kesempatam padaku tentang apa saja yang penuh sesak
berjejalan di kepalaku dan mengekspresikan asa di dada yang selama ini hanya
terkubur. Padahal aku berharap bahwa mereka adalah teman-teman yang selalu
menmaniku hinga kau menemukan duniaku sebenarnya.
Predikat siswi yang cengeng dengan nilai nol
dibeberapa mata pelajaran bagai telur mata sapi sudah seperti makanan
sehari-hariku pun pernah kusandang. Buku yang dilempar guru dihadapanku bak
pesawat yang mendarat pun kerap kali kurasa. Ini memang cukup menyedihkan dan
cukup memengaruhi psikologisku saat itu.
Rasanya kepala ini dipenuhi dengan benang kusut
yang tak tahu mana ujungnya. Daada ini sesak, kepala seperti ingin pecah.
Banyak hal yang tak dapat kujelaskan, aku seperti hampir putus asa. Tak tahu
arah mana yang kutuju, aku speerti orang yang terombang-ambing dilautan. Aku menjadi
sosok yang lemah dan tak berdaya dengan segala takdir yang serasa tidak pernah
berhenti menempatkan diriku di titik paling nol sebagai makhluk yang bernama
perempuan.
Mungkin, bagi sebagian orang akan menganggap ini
semua adalah hal sepele yang kerap diaamibocah-bocah lainnya. Ada pula yang
berpendapat “halah cuma digituin aja”, atau “udah nggak papa, Cuma mainan”.
Kita kerap kali menyepelekan tumbuh kembang si anak. Aksi bullying pada
temannya, sexual harassment, jika dikerucutkan ke belakang prilaku ini terjadi
karena pola asuh yang salah saat anak usia dini. Orangtua selaku model, perlu
terus memberi keteladanan yang baik dihadapan anak. Intinya setiap elemen
masyarakat diharapkan mau bekerja sama melakukan revolusi besar-besaran untuk
mendalami, menggalakkan dan mensosialisasikan program parenting dalam keluarga,
khususnya bagi para orangtua, pemerintah dan pemegang kebijakan terkait.
****
Aku sendiri adalah siswi baru di salah satu sekolah swasta
kejuruan teknik di Lampung, saat-saat itu adalah masaku mencari jati diri. Saat
itu aku mulai membuka diri dan bangkit kembali, trauma di masa lalu mulai
kusingkirkan dan mencoba hidup kembali juga menerima keadaan. Namun terkadang
setiap aku memulai pertemanan, aku sering merasa tersisihkan. Aku merasa ada
tembok dan jarak yang terbangun di hadapanku. Pemikiran yang tak sejalan dan
candaan di luar batas. Nyatanya akulah yang harus bisa menerima keadaan bahwa
dunia ini bukan hanya aku dan duniaku saja, bukan hanya imajinasiku saja.
Inilah saat dimana aku harus mengubah stigma negatifku terhadap sekitar.
Ibuku tak pernah henti untuk mengubahku menjadi
manusia yang lebih aktif dan ramah. Itu adalah sesuatu yang memuakkan untukku,
saat aku harus beramah tamah pada sekitar, melengkungkan bibir seperti
melengkungkan besi.
Beberapa organisasi sengja kuikuti agar aku dapat lebih aktif dan menjadi
manusia yang hadirnya cukup berguna. Ternyata dengan mengikuti beberapa
organisasi membuatku menjadi siswi yang cukup sibuk. Menjadi sekretaris
memaksaku untuk lebih ramah. Banyak orang ang tidak kukenal yang minta
dimasukkan kedalam deretan nama orang-orang yang kukenal pun meminta sedikit
perhatianku.
Hingga
pada suatu hari aku merasa berani menyerahkan hatiku pasa seseorang lak-laki
yang tidak terlalu tampan tapi cukup menarik untuk kupandangi. Menurutku
ketampanan biasanya berakhir dengan sebuah kebosanan, tetapi lelaki yang pintar
tidak akan membosankan, mereka selalu tahu topik menarik untuk dijadikan behan
pembicaraan juga vitamin penting untuk imajinasiku.
Sedetik
aku merasa melayang, dengan mudahnya sudut-sudut bibirku yang biasanya susah
melengkung, kali ini justru melengkung dengan sangat sukses. Persediaan
senyumku memang tidak banyak, setiidaknya aku masih menimbun senyum palsu yang
tidak terlalu banyak dan hanya akan dipakai disaat-saat yang penting. Misalnya
saat aku dituntut untuk berbasa-basi dan aku kehabisan kata-kata busuk, pada
saat itu senyum palsu sangat bermanfaat dan membantu.
Tetapi aku segera mengatur nafasku, supaya tidak mengiang
ditelingaku setiap saat aku merasa terlalu gembira. Kata-kata yang menegaskan
bahwa kegembiraan itu akan lenyap pada detik berikutnya.
Tapi, ternyata aku salah, jalan yang kuambil ini
hanya akan menyeret kedua orangtuaku dalam api yang bergejolak. Aku hanya
mengikuti hawa nafsuku. Berbagai nasihat dan petuah tak kuhiraukan. Kepala yang
keras bagai batu, kata orang dan stereotype yang sering kali berbeda dari
kebanyakan wanita pada umumnya membuatku bertahun-tahun hanyut dalam perasaan
cinta tanpa akad.

Komentar
Posting Komentar